Tuesday, July 31, 2007

PROFILE NAGARI SUNGAI TARAB

1. GAMBARAN UMUM NAGARI SUNGAI TARAB




Nagari Sungai Tarab (Sungai Tarok), pada mulanya bernama “Bungo Satangkai”. Ada yang menafsirkan bahwa Bungo Satangkai itu adalah lambang wanita cantik, karena ketika pertama kalinya Sri Maharajo Dirajo sampai di daerah itu bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita. Ada pula yang menggambarkan bahwa Bungo Satangkai melambangkan bahwa daerah itu merupakan daerah yang indah, ditumbuhi oleh berbagai kembang . Ketika Sri Maharajo Dirajo datang ke sana daerah itu merupakan daerah yang kosong, sehingga Sri Maharajo Dirajo mendatangkan lelaki dan perempuan untuk bermukim di kawasan tersebut. Namun mana yang benar diantara kedua tafsiran itu tidak ada yang tahu.

Sungai Tarab dibelah oleh dua buah jalan raya yang menghubungkan Batu Sangkar dengan Payakumbuh dan Bukittinggi. Daerah ini membentang dari pinggang Gunung Merapi sampai jauh ke kaki Gunung Bungsu. Ke Selatan dari Tigo Batua akan kelihatan Gunung Talang yang terletak di Kabupaten Solok. Ke arah Timur akan kelihatan Gunung Sago yang terletak di Kabupaten Lima Puluh Kota. Disisi Barat berdiri tegak Gunung Merapi, gunung yang dianggap sebagai tanah asal orang Minang.

Nagari Sungai Tarab menghampar landai mengikuti kemiringan Gunug Merapi. Keadaan seperti ini memberi peluang bagi berkembangnya pertanian. Sumber air yang berada di pinggang Gunung Merapi dengan mudah mengalir kemana-mana mengairi sawah penduduk. Sehingga dari dulu sampai sekarang Sungai Tarab merupakan gudang beras di Kabupaten Tanah Datar. Nagari ini merupakan salah satu dari 10 Nagari yang ada di Kecamatan Sungai Tarab, disamping Nagari Padang Laweh, Nagari Koto Baru, Nagari Raorao, Nagari Kumango, Nagari Koto Tuo, Nagari Talang Tangah, Nagari Pasia Laweh, Nagari Gurun dan Nagari Simpuruik. Wilayah Nagari Sungai tarab berjarak sekitar 4 KM arah ke Utara Kota Batu Sangkar.

Secara geografis Nagari Sungai Tarab memiliki batas-batas : sebelah Barat dengan Nagari Koto Tuo, sebelah Utara dengan Nagari Pasia Laweh, sebelah Selatan dengan Nagari Simpurut dan sebelah Timur dengan Nagari Sungayang.

Nagari Sungai Tarab yang meliputi areal seluas sekitar 15 KM2 ini, kini, sejalan dengan langkah pemerintah membagi nagari menjadi beberapa Jorong terbagi dalam empat Jorong (yang dahulunya merupakan jorong), yaitu : Jorong Sungai Tarab, Tigo Batua, Koto Hiliang, dan Koto Panjang. Sejak diberlakukannya UU tentang pemerintahan Jorong Jorong tersebut berubah nama menjadi Jorong. Dua Jorong yang pertama (Sungai Tarab dan Tigo Batua) memiliki susunan penghulu yang berbeda dengan dua Jorong terakhir (Koto Panjang dan Koto Hiliang). Karena kawasan Sungai Tarab memiliki 5 (lima) suku dan kawasan Tigo Batua memiliki 3 (tiga) suku, maka kedua kawasan ini kemudian disebut sebagai kawasan Salapan Batua.

Masing-masing Jorong tersebut mempunyai luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah Dusun dan jumlah suku serta penghulu pucuk sebagai berikut :

1. Jorong : Sungai Tarab
Luas : 630 KM2
Jumlah Penduduk : lk. 5624 jiwa
Dusun (Taratak) 5 : Dusun Ladang Koto, Piliang Sani, Mandahiling, Piliang
Laweh, Bendang Bodi.
Jumlah Suku (5) : Piliang Sani (Dt. Rajo Mangkuto), Piliang Laweh (Dt.
Majo Indo), Mandahiliang (Dt. Tan Mani), Bendang (Dt.
Dt. Rajo Pangulu), Bodi (Dt. Tanaro).
Susunan penghulu : Penghulu pucuk, penghulu suku adat, penghulu bua paruik
dan penghulu andiko.

2. Jorong : Tigo Batua
Luas : 464 Ha (sawah 164 Ha dan daratan 300 Ha)
Jumlah Penduduk : lk 700 KK
Dusun (Taratak) 4 : Dusun Piliang, Bendang, Banjar, Anam-anam.
Jumlah Suku (3) : Suku Bendang ( Dt. Simarajo), Suku Piliang (Dt. Rajo
Malano), Suku Nan Anam (Dt. Rajo Pangulu).
Susunan penghulu : sama dengan Jorong Sungai Tarab

3. Jorong : Koto Panjang.
Luas : 4,5 KM2 (sawah 200 Ha)
Jumlah Penduduk : lk. 222 KK
Dusun (Taratak) 4 : Dusun Gelanggang, Balai Gadang, Talago, Koto Laweh.
Jumlah Suku (4) : Jambak-Picancang (Dt. Intan Bano dan Dt. Pangulu Ga-
gah), Kutianyia-Banuhampu (tidak ada), Piliang-Payoba-
da (Dt. Paduko Labiah dan Dt. Gadang Jolelo), Melayu-
Mandahiliang (Dt. Mantiko Dirajo dan Dt. Paduko Tuan)
Susunan penghulu : pucuk, malin, manti dan dubalang

4. Jorong : Koto Hiliang
Luas :
Jumlah Penduduk :
Dusun (Taratak) :
Jumlah Suku (4) : Koto ( Dt. Bagindo Said), Piliang (Dt. Rangkayo Bungsu),
Chaniago (Dt. Gadang Jolelo), Bendang (Dt. Paduko
Momin
Susunan penghulu : sama dengan Jorong Koto Panjang


2. NAGARI SUNGAI TARAB SEBELUM BERLAKUNYA UU NO. 5 TAHUN 1979 (PEMERINTAHAN JORONG)

2.1 Sistem Pemerintahan

Nagari Sungai Tarab merupakan induk kelarasan adat Koto Piliang dan menjadi kaca perbandingan bagi pelaksana Kelarasan Koto Piliang. Jika ada keragu-raguan dalam tatanan adat Koto Piliang, orang akan menyiasatinya ke Sungai Tarab.
Pimpinan tertinggi Koto Piliang disebut Pamuncak, lengkapnya “Pamuncak Koto Piliang” bergelar Datuak Bandaro Putiah yang berkedudukan di Sungai Tarab. Kedudukannya ini seimbang dengan Pimpinan Bodi Chaniago yang disebut Pucuak, lengkapnya “Pucuak Bulek Bodi Chaniago” bergelar Datuak Bandaro Kuniang yang berkedudukan di Limo Kaum. Sedangkan Pimpinan tertinggi Lareh Nan Panjang disebut “Lantak Tungga Lareh Nan Panjang” bergelar Datuak Bandaro Kayo yang berkedudukan di Pariangan.

Dalam kerangka kelarasan atau tatanan adat, Pagaruyung yang merupakan pusat Kerajaan Minang Kabau itu berada dan tunduk kepada Kelarasan Koto Piliang yang berkiblat di Sungai Tarab, akan tetapi dari sudut tatanan kerajaan, Sungai Tarab berada di bawah kerajaan Pagaruyuang. Pagaruyuang sebagai pusat kerajaan, sedangkan Sungai Tarab sebagai pusat Pemerintahan, dikatakan demikian karena para Menteri (kerajaan Pagaruyung) yang terhimpun dalam Basa Ampek Balai, dipimpin (dikoordinatori) oleh Panitahan di Sungai Tarab. Yang termasuk dalam Basa 4 Balai adalah :

1. Panitahan di Sungai Tarab, Pamuncak Koto Piliang (menteri pertama).
2. Tuan Kadhi di Padang Gantiang, Suluah Bendang Koto Piliang (menteri).
3. Indomo di Saruaso, Payuang Panji Koto Piliang (menteri).
4. Machudum di Sumaniak, Aluang Bunian Koto Piliang (menteri).

Khusus Nagari Sungai Tarab, yang bertindak sebagai Pucuak Adat Nagari adalah Datuak Bandaro Putiah, yang merupakan warga suku Piliang Sani warga kaum yang menghuni Rumah Gadang Sungai Tarab. Selain dari kedua fungsi tersebut, Datuak Bandaro Putiah juga menjadi pucuk adat Kelarasan Koto Piliang dan disebut dengan gelar kehormatan Pamuncak Koto Piliang. Sebagai fungsionaris adat, Datuak Bandaro Putiah adalah tokoh yang ditinggian sarantiang, didahulukan salangkah. Secara matrilineal, Datuak Bandaro Putiah adalah keturunan kaum Puti Indojati dari pihak Cati Bilang Pandai (orang kepercayaan Sri Maharajo Dirajo). Dalam Nagari Sungai Tarab, Datuak Bandaro Putiah merupakan kaca perbandingan, menjadi neraca dan batu penguji bagi setiap keputusan adat yang diambil oleh pemangku adat lainnya. Dialah yang disebut panjang nan ka mangarek, singkek nan ka mambilai. Dia pulalah yang menjadi panutan kok manyauak di nan janiah, kok menjujuik di nan salai. Karena perkembangan penduduk, akhirnya dibentuklah 8 orang ketua dengan kedudukan sebagai penghulu untuk mengatur masyarakat, yang dikenal dengan “Datuak Nan Salapan Batua”.

Secara garis besar, Nagari Sungai Tarab dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kampuang bagian mudiak yang terdiri dari 5 penghulu yang disebut “Limo Batua” dan kampuang bagian hilia yang terdiri dari 3 penghulu yang disebut “Tigo Batua”. Masing-masing penghulu mempunyai balairung sendiri, berupa lapangan di bawah batang beringin dengan tempat duduk dan sandarannya yang terbuat dari batu, beratap langit dan berdinding angin. Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, Nagari Sungai Tarab terdiri atas delapan suku dengan delapan penghulu pucuk, yaitu :

1. Suku Piliang Laweh : Dt. Majo Indo
2. Suku Piliang Sani : Dt. Rajo Mangkuto
3. Suku Bendang : Dt. Rajo Panghulu
4. Suku Bodi : Dt. Tan Naro
5. Suku Mandahiliang : Dt. Tan Mani
6. Suku Piliang : Dt. Rajo Malano
7. Suku Bendang (tigo Batua): Dt. Simarajo
8. Suku Nan Anam : Dt. Rajo Panghulu

Dalam kawasan Sungai Tarab Salapan Batua yang meliputi Jorong Sungai Tarab dan Tigo Batua, terlihat susunan penghulu yang sedikit berbeda dengan kawasan Koto Panjang dan Koto Hiliang. Susunan Penghulu di Sungai Tarab Salapan Batua adalah Penghulu Pucuak, Penghulu Suku Adat, Penghulu Bua Paruik dan Penghulu Andiko, sedangkan susunan penghulu di kawasan Koto Panjang dan Koto Hiliang adalah Pucuk, Malin, Manti dan Dubalang.

Dari uraian di atas tergambar bahwa Nagari Sungai Tarab terdiri dari Salapan Batua, yaitu 5 batua di Jorong Sungai Tarab dan 3 batua di Jorong Tigo Batua. Tapi ketika penjajahan Belanda, “Koto Panjang” dan “Koto Hiliang” dimasukkan ke dalam Nagari Sungai Tarab. Hal ini menimbulkan terjadinya kesenjangan antara Koto Panjang dan Koto Hiliang dengan “Salapan Batua” yang menyebabkan mereka tidak pernah bisa bersatu. Akibatnya beberapa kali sejak zaman Belanda sampai dengan Pemerintahan Nagari (sebelum adanya Pemerintahan Jorong), jorong “Koto Panjang” dan “Koto Hiliang” ingin memisahkan diri dari Nagari Sungai Tarab, karena faktor jarak hubungan tidak begitu lancar, informasi tidak sampai ke Koto Panjang, dan ada semacam perasaan dianak-tirikan, dimana pembagian pendapatan Nagari tidak merata mereka dapatkan. Namun hal tersebut tidak pernah dikabulkan, maka jadilah Nagari Sungai Tarab meliputi 4 Jorong (4 Jorong sekarang), yaitu Jorong Sungai Tarab, Tigo Batua, Koto Panjang dan Koto Hiliang.

Struktur pemangku adat di Nagari Sungai Tarab sekalipun terlihat agak ruwet, namun tidak terdapat kesulitan dalam melaksanakan tatanan tersebut. Hal ini disebabkan masyarakat adat di Nagari Sungai Tarab mempertahankannya sejak ratusan tahun yang lalu. Disini berlaku peribahasa yang berbunyi “patah tumbuah”. Artinya, pewarisan penghulu dilakukan secara turun-temurun dalam garis yang bertali darah. Turun-temurun hanya berlaku pada orang yang sama dalam garis yang bertali darah. Akan tetapi, jika penghulu yang bersangkutan punah atau habis, maka jabatan itu dapat dipindahkan kepada kaum lain. Perpindahan jabatan itu diatur dengan apa yang disebut “hilang baganti”. Yang menjadi prinsip adalah bahwa jabatan penghulu itu tidak boleh ikut punah. Untuk menentukan kaum mana yang mewarisi, ditentukan yang paling dekat dari kaum penghulu yang punah.

Dalam hal peresmian seseorang menjadi penghulu, tidak dapat dilakukan oleh keluarga yang bersangkutan saja. Peresmian haruslah berpedoman kepada petitih adat : “maangkek rajo, sakato alam; maangkek pangulu, sakato kaum”. Berdasarkan hal tersebut, tata tertib meresmikan penghulu dimulai dari rapat atau mufakat kaum. Kemudian dibawa ke halaman, artinya dibawa masalahnya ke dalam kampung, lalu diangkat ke tingkat suku, dan akhirnya dibawa ke dalam rapat nagari. Dan yang berhak memasangkan deta penghulu (tutup kepala kebesaran penghulu) yang baru diangkat ialah Pucuk Adat Nagari Sungai Tarab, yaitu Datuak Bandaro Putiah.

Pengangkatan penghulu dapat juga dilakukan dengan pedoman “iduik bakarilaan, mati batungkek budi”, artinya, seorang penghulu yang sudah tidak mampu lagi menjalankan tugasnya, mungkin karena kesibukan lain, mungkin karena kesehatan tidak mengizinkan, mungkin karena bekerja di rantau, dsb, maka dia boleh menyerahkan jabatan itu kepada calon penggantinya. Biasanya calon pengganti itu ialah kemenakannya (putra saudara perempuannya) yang sudah dewasa. Dalam meresmikan penghulu, yang bersangkutan wajib memotong seekor kerbau. Karena perkembangan zaman, dimana banyak yang tidak mampu membeli seekor kerbau, maka diambil kebijaksanaan satu ekor dibeli secara patungan oleh beberapa orang yang akan meresmikan dirinya sebagai penghulu.

2.2 Pola Pengelolaan SDA

Berdasarkan kepemilikannya, sumber daya alam (SDA) yang ada di Nagari Sungai Tarab, dapat dibedakan atas beberapa macam, yaitu :

1. SDA yang dimiliki oleh Panitahan/Keturunannya, berupa sumber Mata Air Sungai Tarab (terletak di sudut Mesjid Nagari Sungai Tarab);
2. SDA yang dimiliki oleh Suku/Kaum, berupa tanah (hutan, sawah, sungai, gunung) ulayat suku/kaum;
3. SDA yang dimiliki Nagari, berupa Pasar Nagari Sungai Tarab;

Ketiga bentuk SDA di atas, dikuasai dan dikelola oleh pemiliknya melalui penghulunya masing-masing tetapi tetap dibawah pengawasan seluruh anggota (kecuali Mata Air Sungai Tarab, sepenuhnya berada dibawah kewenangan Panitahan Sungai Tarab).

Sumber daya alam yang ada di Nagari Sungai Tarab, terutama yang dimiliki oleh suku/kaum dan nagari, pengelolaannya harus memperhatikan aturan adat yang berlaku di Nagari Sungai Tarab.

1. Untuk dapat menggadaikan atau memindahtangankan tanah ulayat suku/kaum kepada orang lain, harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu : maik tabujua di ateh rumah, rumah gadang katirisan, mambangkik batang tarandam, dan gadih gadang indak balaki. Tidak hanya sebatas itu, biasanya penggadaian atau pengalihan itu diusahakan kepada orang yang terdekat secara adat.
2. Bagi orang yang memegang jabatan penghulu, kepadanya diberikan sawah yang hasilnya diambil untuk keperluan penghulu tersebut, tetapi harus dikembalikan kepada suku/kaum apabila ia meninggal, untuk selanjutnya diserahkan kepada yang memegang jabatan penghulu selanjutnya. Sawah tersebut dikenal dengan “sawah panggalahan”.
3. Bagi orang luar (pendatang) yang masuk ke dalam komunitas masyarakat Nagari Sungai Tarab berlaku aturan “mangaku bamamak”, artinya, ia harus menyatakan diri sebagai kemenakan dari salah seorang mamak yang melalui musyawarah kaum dinyatakan diterima sebagai bagian dari kemenakan, baik sebagai kemenakan dibawah daguak, dibawah pusek, maupun dibawah lutuik. Aturan mangaku bamamak ini dimaksudkan agar mamak yang sudah diakuinya itu dapat menjaga dan melindungi dirinya seandainya dikemudian hari terjadi masalah. Orang luar yang sudah mangaku bamamak ini diperbolehkan mengolah tanah atau menggarap milik suku/kaum untuk keperluan hidup diri dan keluarganya. Selagi kaum masih ada, dia hanya punya hak menggarap, tetapi tidak untuk dimiliki.
4. Sedangkan Pasar Nagari atau asst nagari lainnya, sepenuhnya dikelola oleh nagari melalui para Ninik Mamak yang ada didalam nagari tersebut. Semua Ninik Mamak terlibat dalam pengelolaan Pasar Nagari. Dalam hal ada persoalan menyangkut Pasar Nagari, maka seluruh Ninik Mamak dalam Nagari harus diikutkan untuk mengambil keputusan dalam musyawarah nagari.
5. Sumber daya alam yang dimiliki oleh panitahan, sepenuhnya dikuasai dan dikelola oleh panitahan dan keturunannya. Masyarakat dapat menggunakannya atas seizin panitahan.

Kalau terjadi sengketa terhadap Sumber Daya Alam yang ada di Nagari, penyelesaiannya dilakukan dengan jalan musyawarah, bertingkat dari bawah sampai ke atas. Misalnya terjadi sengketa dalam kaum, penyelesaiannya dilakukan dengan musyawarah yang diikuti oleh seluruh anggota kaum yang bersangkutan dipimpin oleh ninik mamak (penghulu) mereka. Kalau tidak selesai baru dibawa ke tingkat kampung (suku). Kalau kesepakatan belum juga tercapai maka persoalan itu dibawa ke tingkat yang lebih tinggi yaitu nagari.

Pada Zaman kerajaan, kalau ditingkat Nagari tidak selesai (pada waktu itu dipimpin oleh Panitahan), maka dilanjutkan bertingkat terus ke atas oleh Rajo Alam Minang Kabau, terakhir pada Raja Pagaruyung. Ditangan raja inilah keputusan mutlak harus dijalankan.

Ketika Pemerintahan Nagari sebelum adanya pemerintahan Jorong, penyelesaian tingkat akhirnya adalah ditingkat Nagari. Dengan istilah “ndak ado kusuik nan ndak ka salasai”, biasanya persoalan ini berakhir dengan perdamaian.


2.3 Pola Hubungan Wali Nagari dengan Anak Nagari, Pemerintah dan Warga
Pendatang

Hubungan Wali Nagari yang dalam Nagari Sungai Tarab disebut Pucuak Adat, yaitu Datuak Bandaro Putiah dengan anak nagari sangat kuat terjalin, karena disamping secara adat berfungsi sebagai Pamuncak Koto Piliang, Datuak Bandaro Putiah adalah juga seorang penghulu yang sangat dihormati dan disegani karena ia adalah tokoh yang ditinggian sarantiang, didahuluan salangkah. Dialah pula panjang nan ka mangarek, singkek nan ka mambilai. Karena kewajibannya sebagai pelaksana seluruh hukum adat yang terdiri dari 22 pasal (adaek nan ampek, kato nan ampek, nagari nan ampek, undang nan ampek, hukum nan ampek dan cupak nan duo), baik Datuak Bandaro Putiah maupun seluruh penghulu dan pemangku adat mempunyai kedudukan yang terhormat di mata anak nagari. Mengingat Nagari Sungai Tarab menganut kelarasan Koto Piliang, maka pola hubungan pucuk adat nagari (Wali Nagari) dengan anak nagari mengikuti pola hubungan yang bersifat artistokratis.

Dalam hubungannya dengan pemerintah –Camat, Bupati dan seterusnya, sangat ditentukan oleh kesesuaian antara aturan-aturan yang berlaku secara adat dengan aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah. Sepanjang aturan pemerintah masih sesuai dengan aturan adat, Wali Nagari merasa berkewajiban menjalankannya. Akan tetapi, apabila aturan yang dibuat pemerintah ternyata tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan adat/agama, secara tegas Wali Nagari dan masyarakat Nagari pada umumnya akan menentangnya. Pada umumnya, interaksi yang sering dilakukan oleh Wali Nagari dengan pemerintah berkaitan tentang persoalan pendidikan dan pembangunan.

Dalam berinteraksi dengan warga pendatang, di Nagari Sungai Tarab berlaku pola hubungan yang dikenal dengan istilah “mangaku bamamak”, maksudnya, para pendatang menundukkan diri untuk mengaku bermamak pada salah seorang mamak yang ada di dalam nagari sehingga kalau terjadi masalah atau malapetaka ada mamak yang akan mengurusnya, dalam konteks ini, yang mereka peroleh adalah “hak perlindungan hidup”. Dalam segala acara mereka juga dilibatkan. Tapi dalam hal-hal yang khusus seperti musyawarah adat, upacara pengangkatan penghulu, dll, mereka tidak dilibatkan.

2.4. Hukum dan Peradilan Adat

Di Nagari Sungai Tarab berlaku hukum damai, apapun persoalannya diselesaikan dengan perdamaian.

3. NAGARI SUNGAI TARAB SETELAH BERLAKUNYA SISTEM PEME- RINTAHAN JORONG

3.1 Sistem Pemerintahan

Sejalan dengan langkah pemerintah membagi nagari menjadi beberapa Jorong sejak diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1979, Nagari Sungai Tarab dibagi menjadi empat Jorong, yaitu Jorong Sungai Tarab, Tigo Batua, Koto Panjang dan Koto Hiliang. Seperti di nagari-nagari lain, Nagari Sungai Tarab mempunyai lembaga adat yang disebut Kerapatan Adat Nagari (KAN). Pimpinan KAN Sungai Tarab sebelumnya adalah Basroel Datuak Bandaro Putiah, namun sepeninggal beliau, kedudukan Ketua KAN digantikan oleh Wakil Ketua I yaitu Yusrilmar Datuak Majo Satio sampai dengan sekarang. Secara lengkap susunan kepengurusan KAN Sungai Tarab adalah : Ketua, Wakil Ketua I, Wakil Ketua II, Sekretaris I, Sekretaris II, Bendahara dan Anggota.

Secara kasat mata memang kepengurusan KAN Sungai Tarab tidak menghadapi persoalan yang berarti, namun bila melihat sikap sebahagian masyarakat yang berbeda terhadap kepemimpinan KAN saat ini, -- ada yang menganggap Ketua KAN sekarang adalah Dt. Majo Satio, ada yang menyebut Dt. Sinaro (Sekretaris I), ada pula yang menduga Dt. Rajo Panghulu (Bendahara), sangat terbuka peluang terjadinya konflik antara pengurus KAN dengan masyarakat. Kesan yang tampak adalah, para pengurus KAN pada umumnya tidak terlalu mempedulikan kekosongan Ketua KAN sepeninggal Basroel, padahal kondisi tersebut sangat rawan terjadinya konflik.

Secara prinsipil, sejak berlakunya sistem pemerintahan Jorong, peran Ninik Mamak di Nagari Sungai Tarab melalui kelembagaan adatnya lebih banyak dilakukan dalam bidang adat seperti dalam penyelesaian sengketa adat, batagak panghulu, dll. Tetapi, mengingat begitu kuatnya posisi Kepala Jorong sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang ada di Jorong, terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi ke pemerintahan, sebahagian besar masyarakat tidak lagi melihat Ninik Mamak sebagai tempat untuk menyelesaikan persoalan termasuk masalah adat. Mereka lebih memilih penyelesaian sengketa adat mengenai tanah misalnya, ke pengadilan daripada dibawa ke lembaga adat yang sebenarnya lebih berkompeten untuk menyelesaikan.


3.2 Pola Pengelolaan SDA

Pengelolaan sumber daya alam di Nagari Sungai Tarab khususnya terhadap sumber daya alam yang dikuasai oleh suku/kaum, sejak diberlakukannya sistem pemerintahan Jorong, seiring pula dengan semakin banyaknya warga masyarakat yang pergi merantau meninggalkan kampung halamannya, tidak sedikit tanah-tanah yang terpaksa dibiarkan terbengkalai karena keterbatasan tenaga untuk mengolahnya. Di sisi lain, semakin tingginya tuntutan hidup di wilayah Nagari Sungai Tarab yang sudah sangat maju perkembangan pembangunannya, membuat sebahagian besar masyarakat yang menyandarkan hidupnya dari bertani, harus menggadaikan atau menjual tanah-tanahnya kepada orang lain. Proses gadai dan jual beli yang terkadang hanya diketahui oleh Kepala Jorong –tanpa mengikutsertakan Ninik Mamak dan Ketua KAN, berujung pada terjadinya sengketa tanah sampai ke lembaga peradilan umum.

Disebabkan karena yang berhak mengelola, menguasai dan memiliki tanah ulayat suku/kaum adalah suku/kaum yang bersangkutan, maka segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam sepenuhnya berada di tangan suku/kaum masing-masing tanpa ada intervensi dari pemerintah maupun Ketua KAN. Namun fenomena yang berkembang saat ini, pada umumnya tanah-tanah ulayat suku/kaum yang tergadai atau terjual kepada pihak lain terutama untuk kepentingan pembangunan justeru terjadi karena adanya keterlibatan aparatur pemerintah – dalam hal ini Kepala Jorong, yang dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan terendah, mempengaruhi para Ninik Mamak agar mau melepaskan tanah ulayatnya.

Satu hal yang menarik adalah, sumber daya alam berupa Mata Air Sungai Tarab yang sampai sekarang masih dianggap sebagai milik Panitahan Sungai Tarab dan untuk pemanfaatannya harus aatas seizin pemiliknya, oleh beberapa Jorong di Nagari Sungai Tarab dituntut agar digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak terutama untuk kepentingan irigasi sawah-sawah penduduk. Namun tuntutan tersebut sampai sekarang belum terkabul.

Pasar Nagari Sungai Tarab yang sekarang dikelola oleh KAN, juga belum memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat selain hanya sebagai tempat untuk mengadakan transaksi jual beli. Sementara hasil yang diperoleh oleh Pasar Nagari berupa pungutan/iuran pasar tidak diketahui secara pasti digunakan untuk apa. Sistem pengelolaan Pasar Nagari yang dilakukan oleh KAN, dianggap tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat karena para pengurus KAN sekarang lebih banyak yang bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri daripada untuk kepentingan nagari. Bahkan yang lebih mencengangkan, pihak Pemerintah Daerah – dalam hal ini Kecamatan Sungai Tarab, pernah berencana untuk mengambil alih pengelolaan perparkiran di sekitar Pasar Nagari, yang tentu saja ditentang keras oleh masyarakat termasuk pengurus KAN sendiri.


3.3 Pola Hubungan Ketua KAN dengan Kepala Jorong

Secara tersirat pada bagian awal laporan ini telah digambarkan bagaimana hubungan antara Ketua KAN dengan Kepala Jorong. Pada umumnya diantara Ketua KAN dengan Kepala Jorong terdapat perbedaan fungsi yang cukup prinsipil, yaitu antara fungsi sebagai penyelenggara urusan masyarakat dari aspek adat/agama yang dilakukan oleh Ketua KAN, dengan fungsi sebagai penyelenggara pemerintahan yang dilakukan oleh Kepala Jorong. Fungsi-fungsi ini, tentunya sangat diharapkan bisa saling mengisi dan memperkuat satu sama lain, sehingga antara persoalan-persoalan adat dengan persoalan-persoalan pemerintahan berjalan secara harmonis.

Meskipun dari sisi fungsi, kedua jabatan tersebut memiliki perbedaan yang harus saling mendukung, namun adakalanya – pada beberapa Jorong, apa yang dilakukan oleh Ketua KAN dengan Kepala Jorong berjalan sendiri-sendiri bahkan saling bertentangan. Misalnya, peran-peran Ketua KAN/Ninik Mamak sebagai pemersatu antara anak dengan kemenakan seringkali dilakukan oleh Kepala Jorong tanpa mempedulikan keberadaan Ninik Mamak yang dihormati di mata masyarakat. Sehingga untuk urusan goyong royong membersihkan jalan Jorong saja – yang dulu cukup diberitahukan dari mamak kepada kemenakannya, sekarang terpaksa harus dilakukan dengan meminta bantuan Dinas Pekerjaan Umum oleh Kepala Jorong. Atau dalam proses gadai tanah ulayat, seringkali pihak yang berkepentingan langsung meminta rekomendasi dari Kepala Jorong tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan dari Mamak Kepala Waris yang paling berwenang melakukannya, dan oleh Kepala Jorong hal itu dilakukannya.


3.4 Dampak Pemerintahan Jorong bagi Nagari

Setelah keluarnya UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Jorong, Sistem Pemerintahan Nagari berubah menjadi Sistem Pemerintahan Jorong. Jorong-jorong yang ada di Jorong diubah menjadi Jorong-Jorong. Pemerintahan Jorong telah menghancurkan persatuan dan kesatuan masyarakat Nagari Sungai Tarab. Pengaruh dari adanya kebijaksanaan pemberian dana Bantuan Jorong (Bandes) telah melahirkan Jorongisme, semua berjuang atas nama Jorong. Walaupun sebenarnya dari segi geneologis mereka masih bersaudara tapi karena sudah terpisah oleh Jorong hubungan kekeluargaan diantara mereka menjadi renggang. Sejak diberlakukannya sistem Pemerintahan Jorong, fungsi ninik mamak yang selama ini begitu kuat dan sangat dihormati oleh anak nagari, makin lama makin menurun. Budaya gotong royong yang selama ini begitu kental di tengah masyarakat mulai memudar karena segala sesuatu harus atas perintah dari pejabat pemerintah terlebih dahulu.

Proses pemilihan Kepala Jorong, sekalipun dilakukan secara musyawarah, namun substansinya sudah jauh menyimpang dari pola musyawarah yang pernah dilakukan oleh masyarakat nagari. Masyarakat tidak lagi memilih Kepala Jorong dari aspek kualitasnya, tetapi lebih ditentukan pada sejauh mana calon Kepala Jorong itu berhasil mengobral janji-janji kepada masyarakat yang berujung pada terjadinya perilaku menyimpang, misalnya suap, intimidasi, teror dan lain sebagainya. Keterlibatan ninik mamak dalam struktur pemerintahan Jorong hampir dapat dikatakan sangat minim, kalaupun ada hanya pada Lembaga Musyawarah Jorong. Keberadaan Ninik Mamak lebih banyak diperlukan ketika ada upacara-upacara pernikahan dan ketika terjadi sengketa adat, sedangkan bagaimana mestinya pemerintahan yang dijalankan oleh Kepala Jorong dapat berjalan saling mengisi dengan para ninik mamak, tidak pernah mengikutsertakan pada penghulu suku dan ninik mamak.

Khususnya Jorong Koto Panjang, berubahnya bentuk Pemerintahan Nagari menjadi Pemerintahan Jorong merupakan perubahan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jorong Koto Panjang, karena kekecewaan mereka bergabung ke dalam Nagari Sungai Tarab sedikit banyak terobati. Pemerintahan Jorong membuat masyarakat Koto Panjang tidak lagi mengalami kesulitan dalam urusan-urusan pemerintahan karena segala sesuatu cukup diselesaikan di Kantor Kepala Jorong. Adanya bantuan Jorong dari pemerintah yang selama ini diterima oleh Jorong Koto Panjang, juga menjadi faktor semakin majunya proses pembangunan di Jorong Koto Panjang dibanding ketika masih bergabung dengan Nagari Sungai Tarab.

(Sumber; Padang, Juli 2000)